fajarhukum

November 20, 2012

Perbandingan Hukum Kontrak

Filed under: Perdata — fajarhukum @ 2:40 pm

Nama : Fajar Cahyanto
NPM : 0906558155
Judul Tugas : Perbandingan Hukum Kontrak
Mata Kuliah : Perbandingan Hukum Perdata

UNSUR

Indonesia:
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu:

1. Kata sepakat;
2. Kecakapan;
3. Hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal;

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata .

Belanda:
Terdapat ketentuan dalam Dutch Civil Code (DCC) yang dapat di-counterpart-kan dengan unsur perjanjian Indonesia:
1. Kesepakatan:
• Article 6:217 DCC mengenai penawaran dan penerimaan (permissive law), sebuah perjanjian pada dasarnya ada dengan adanya penawaran dan penerimaan, juga diterapkan ketentuan sebagaimana terdapat pada Art. 6:219 sampai 6:255 dalam pembentukan perjanjian, terkecuali penawaran, perbuatan hukum lain atau praktik umum mempengaruhi secara khusus.
2. Kecakapan:
• Article 3:32 DCC mengenai Kapasitas Legal untuk melakukan perbuatan hukum menyatakan bahwa setiap pribadi kodrati memiliki kapasitas legal untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang tidak diatur lain oleh hukum; sebuah perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang melanggar kapasitas legal untuk melakukan perbuatan hukum [anak-anak dan orang dewasa yang berada di bawah pengampuan], adalah dapat dibatalkan. Sebuah perbuatan hukum bersegi satu (unilateral) dari orang seperti itu, bagaimanapun, batal demi hukum ketika tidak ditujukan untuk satu atau beberapa orang yang spesifik.
3. Hal Tertentu:
• Article 6:227 DCC mengenai Sebuah Kewajiban Harus Dapat Ditentukan menyatakan bahwa kewajiban-kewajiban di mana para pihak menyatakan dirinya tunduk pada perjanjian tersebut, harus dapat ditentukan.
4. Sebab yang Halal:
• Art. 3:40 DCC mengenai Pelanggaran terhadap Pelanggaran terhadap hukum, moralitas publik atau ketertiban umum. DCC secara sederhana menentukan beberapa batasan fundamental yang tidak boleh dilalui oleh para pihak yang berkontrak: hukum yang memaksa, moral yang baik, dan ketertiban umum. Sebuah kontrak yang bertentangan dengan salah satu dari tiga ketentuan ini, menurut peraturan, menjadi batal .

Anglo Saxon:
Dalam negara Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, unsur dasar dapat dijelaskan: The basic elements of a contract are mutual assent, consideration, capacity, and legality . Jadi unsur-unsur kontrak adalah: persetujuan para pihak, konsiderasi, kapasitas, dan legalitas. Khusus mengenai konsiderasi, yang dimaksud dengannya adalah setiap manfaat (kontra prestasi) yang diperoleh dari pihak yang melakukan prestasi, atau janji untuk memberikan manfaat atau janji untuk melakukan prestasi oleh pihak lawan kontrak, atau kerugian yang dialami oleh pihak lawan kontrak karena adanya suatu kontrak meskipun kerugian tersebut belum tentu bermanfaat bagi pihak pembuat kontrak, ataupun dalam hal tertentu, formalitas suatu kontrak (seperti kewajiban menempel segel) dapat juga dianggap semacam konsiderasi dari suatu kontrak .

 
VALIDITAS: LAHIR DAN BERLAKUNYA PERJANJIAN

Indonesia:
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya . Namun perlu diperhatikan dalam KUH Perdata Indonesia diberlakukan sistem kontrak sebagai suatu perjanjian obligatoir dalam masalah peralihan hak.
Yang dimaksud dengan perjanjian obligatoir adalah suatu perjanjian di mana ketika selesai perjanjian dibuat masih belum menyebabkan perpindahan hak milik atas benda objek perjanjian tersebut. Yang terjadi baru sebatas terikatnya para pihak untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Jadi yang terjadi baru sebatas adanya hak dan kewajiban saja. Agar suatu hak milik berpindah dari pihak yang satu ke pihak yang lain dalam perjanjian tersebut, masih memerlukan perjanjian lain yang disebut dengan “perjanjian riil” perjanjian riil inilah yang sering disebut dengan “penyerahan” hak atau dalam hukum Belanda disebut dengan istilah “levering” .

Belanda:
Menurut Article 6:217 Dutch Civil Code (DCC) mengenai penawaran dan penerimaan (permissive law), sebuah perjanjian pada dasarnya ada dengan adanya penawaran dan penerimaan. Jadi jika suatu penerimaan dilakukan terhadap suatu penawaran dan merupakan hal yang legal, maka pada saat itu perjanjian ada dan mengikat para pihak.
Anglo Saxon:
Dalam sistem hukum Anglo Saxon, sepanjang telah terjadi penawaran (offer), penerimaan tawaran (acceptance) dan prestasi balik (consideration), maka kontrak tersebut dianggap sudah ada, tanpa terlalu mempedulikan bagaimana bentuk, isi, dan proses kontrak tersebut.

WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA

Indonesia:
Pada dasarnya Debitur wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dasar Hukum: Pasal 1238 KUHPer:
“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”.

Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan risiko;
4. Membayar biaya perkara
Dasar Hukum: Pasal 1267 KUHPer:
“Pihak yang merasa perjanjian tidak dipenuhi, boleh memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lainnya untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian itu disertai penggantian biaya, rugi dan bunga.”.

Mengenai Ganti-Rugi, dapat diperinci sebagai berikut :
1. Biaya: segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak;
2. Rugi: kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur;
3. Bunga: kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Mengenai penuntutan ganti-rugi ini terdapat pembatasan pada Pasal 1247 dan 1248 KUHPer, hanya meliputi kerigian yang dapat diduga dan yang akibat langsung dari wanprestasi .

Selain apa yang tersebut di atas, dikenal pula apa yang disebut bunga moratoir yaitu bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya. Oleh suatu undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1848 No. 22 bunga tersebut ditetapkan 6 prosen setahun, dan menurut pasal 1250 KUHPer, bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi prosenan yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut .

Mengenai Pembatalan Perjanjian
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1266 KUHPer mengenai syarat batal, pembatalan perjanjian harus diminta kepada hakim, tak mungkinlah perjanjian itu sudah batal secara otomatis pada waktu si debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Kalau itu munkin, permintaan pembatalan kepada hakim tidak ada artinya. Dan disebutkan juga secara jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum .

Mengenai Peralihan Risiko, dapat dilihan Pasal 1237 ayat (2) KUHPer, yaitu kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Penerpaannya dapat dilihat pada Pasal 1460 KUHPer mengenai jual-beli barang, dimana resiko atas barang berada di tangan pembeli. Jika terdapat kelalaian penjual yaitu terlambat menyerahkan barang, risiko jual-beli barang berpindah pada penjual.

Mengenai membayar biaya perkara, yaitu jika debitur lalai dikalahkan dan diwajibkan membayar biaya perkara menurut Pasal 181 ayat (1) H.I.R.

Belanda:
Dalam hal adanya wanprestasi dapatlah dilihat Article 6:265 DCC mengenai pembatalan perjanjian timbal balik dalam hal pelanggaran kontrak yang menyatakan setiap kegagalan oleh satu pihak dalam melaksanakan kewajibannya, memberikan pihak lawannya hak untuk membatalkan perjanjian timbal balik seluruhnya atau sebagian, terkecuali kegagalan tersebut disebabkan oleh kepentingan sesungguhnya atau kecil, tidaklah dibenarkan pembatalan dan efek hukum demikian.
Jika kemudian sudah dilakukan pembatalan, maka terjadi akibat hukum menurut Article 6:271 mengenai Akibat Hukum dari Pembatalan Perjanjian: sebuah pembatalan perjanjian membebaskan para pihak dari kewajiban yang muncul darinya [semua kewajiban tercipta oleh perjanjian timbal-balik yang dibatalkan]. Sepanjang kewajiban ini telah dijalankan, dasar hukum pelaksanaan tetap efektif, namun hukum menyatakan sebuah kewajiban bagi para pihak untuk membatalkan perbuatan yang telah mereka terima sesuai dengan manfaat dari perjanjian yang dibatalkan
Setelah dilakukan pembatalan menurut Article 6:272 mengenai Kewajiban untuk Mengkompensasi Nilai dari sebuah Prestasi yang Diterima, jika keadaan tidak memungkinkan untuk adanya pengembalian, maka dilakukan kompensasi sesuai nilai, terhitung sejak prestasi itu diterima. Jika prestasi tidak sesuai dengan kewajiban, maka kompensasi terbatas hingga nilai yang menjadi keuntungan penerima, dalam hal ini, yang sesungguhnya diperoleh dari prestasi tersebut, terhitung sejak diterimanya prestasi itu.
Mengenai Kompensasi, dapat dilihat Article 6:275 mengenai Fruits, costs and damages
What is provided in Articles 3:120, 3:121, 3:123 and 3:124 of the Civil Code with regard to the entitlement to fruits and with regard to a compensation for costs and damages applies accordingly to a performance in control of a recipient that has to be returned on account of a rescission of a mutual agreement.
Dalam hal ini dapatlah dilakukan counterpart dengan KUHPer Indonesia, fruits dengan bunga, costs dengan biaya, dan damages dengan rugi.

Anglo Saxon:
Mengenai wanprestasi dalam negara Anglo Saxon, disebut sebagai default atau breach of contract dimana hal tersebut dipahami sebagai a failure to comply with a term of an agreement (kegagalan pemenuhan keadaan dalam perjajian).
Perlu dilihat dalam Second Restatement of Contract pada Pasal 1 mengenai definisi kontrak:
Sebuah kontrak adalah sebuah janji atau sekumpulan janji yan gmana terhadap pelanggaran terhadapnya hukum memberikan remedi, atau prestasi yang diwajibkan oleh hukum.
Berdasarkan §344, dijelaskan tujuan dari remedi.
Remedi yuridis ada untuk melindungi satu atau lebih kepentingan-kepentingan si penerima janji:
(a) his “expectation interest,” which is his interest in having the benefit of his bargain by being put in as good a position as he would have been in had the contract been performed,
• kepentingan memperoleh manfaat jika kontrak dipenuhi
(b) his “reliance interest,” which is his interest in being reimbursed for loss caused by reliance on the contract by being put in as good a position as he would have been in had the contract not been made, or
• kepentingan yang harus diganti atas ketergantungan pada kontrak jika tidak dibuat, atau kerugian nyata.
(c) his “restitution interest,” which is his interest in having restored to him any benefit that he has conferred on the other party.
• Kepentingan yang menghendaki pengembalian manfaat yang telah dilakukan pada pihak lain
Untuk memperoleh remedi, kemudian ditentukan dengan adanya kerugian (damages) yang menurut §347 ukuran dari damages secara umum
Dengan batasan tercantum dalam §350-53, pihak korban memiliki hak atas ganti rugi berdasarkan kepentingan yang diharapkan diukur dengan:
(a) kerugian baginya oleh prestasi pihak lain dengan kegagalan atau kekuranganya, ditambah
(b) kerugian lain, termasuk kehilagnan insidental atau konsekuensional, disebabkan oleh pelanggaran, dikurangi
(c) semua biaya atau kerugian yang telah dihindarinya dengan tidak melakukan prestasi

KEADAAN MEMAKSA DAN RESIKO
Indonesia:
Mengemukakan bahwa overmacht atau keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan kata lain, tidak terlaksananya perjanjian atau terlambat dalam pelaksanaan perjanjian bukan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.
Subekti mendasarkan keadaan memaksa pada dua pasal, yaitu Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Lebih lanjut Subekti menyatakan bahwa isi kedua pasal sama, hanya penilaian lebih baik diberikan pada isi Pasal 1244 KUH Perdata karena dianggap paling tepat menunjukkan overmacht. Overmacht yang merupakan pembelaan bagi debitor yang dituduh lalai juga memberikan beban pembuktian pada debitor untuk membuktikan adanya peristiwa yang disebut overmacht (keadaan memaksa) itu.
Pesoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan meaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi . Mengenai resiko ini, dapat dilihat Pasal 1237 KUHPer yang menyatakan “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.”. Dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak yang berhak menerima barang itu . Pasal 1237 itu, hanya dapat dipakai untuk perjanjian yang sepihak, sepertinya: perjanjian [penghibahan dan perjanjian pinjam pakai. Untuk perjanjian-perjanjian timbal-balik ini, harus dicari pasal-pasal dalam Bagian Khusus, misal pada: Pasal 1460 KHUPer (jual-beli), Pasal 1545 KUHPer (tukar-menukar), Pasal 1553 KUHPer (sewa-menyewa).
Belanda:
Prof. Jaap Hijma menyatakan mengenai Force Majeure :
Every failure in performance of an obligation shall require the obligor (debtor) to repair the damage which the obligee (creditor) suffers therefrom, unless the failure is not attributable to the obligor (art. 6:74 par. 2 DCC ). When the failure in performance is caused by force majeure, this failure cannot be attributed to the debtor.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa force majeure menjadi alasan bagi debitur untuk tidak mengganti kerugian yang diderita kreditur karena force majeure tidak dapat dibebankan pada debitur.
Di Belanda, adanya force majeure berakibat antara lain sebagai berikut :
1. Dutch law principally acknowledges the remedy of specific performance (art. 3:295 DCC). Force majeure presupposes impossibility; no judge will sentence a party to accomplish what is impossible.
• Pihak yang mengalami force majeure tidak akan dapat dipaksa memenuhi prestasi karena pihak tersebut mengalami ketidakmungkinan.
2. As a result of force majeure the debtor is not liable for damages (art. 6:74 par. 2 DCC).
• Debitur tidak bertanggung jawab atas kerugian
3. Force majeure does not automatically set aside the obstructed obligation or contract. The other party however can choose to set the contract aside, either by means of an extra-juridical declaration or by means of demanding a court decision (art. 6:267 DCC).
• Force majeure tidak secara otomatis mengesampingkan kewajiban yang telah terbentuk atau kontrak. Pihak yang lain dapat memilih megnesampingkan kontrak dengan deklarasi di luar pengadilan atau meminta putusan pengadilan
4. Dutch law embraces the doctrine of unforeseen circumstances (change of circumstances; clausula rebus sic stantibus). Upon the demand of one of the parties, the court may modify the effects of a contract or it may set it aside, in whole or in part, on the bases of unforeseen circumstances of such a nature that the other party, according to the standards of reasonableness and fairness, may not expect the contract to be maintained in unmodified form (art. 6:258 par. 2 DCC). In certain cases, the occurrence of force majeure can constitute an unforeseen circumstance, which allows the judge to alter the contract if one of the parties (here: the creditor) so demands. The Dutch courts are reserved with applying this art. 6:258 DCC (and rightly so).
• Terhadap hal yang tidak terduga, atas permintaan salah satu pihak, pengadilan dapat merubah akibat dari kontrak untuk seluruh atau sebagian berdasarkan keadaan tidak terduga, mengacu pada standar reasonableness and fairness.

Anglo Saxon:
Di Inggris, apa yang dimaksud dengan force majeure dapat dijelaskan sebagai berikut :
Force majeure is literally translated as “superior forces”. In contractual terms, it is recognised as the occurrence of an unexpected event / events beyond the control of either contracting party which disrupts the operation of the contract such that the contracting parties are excused from their liabilities and/or obligations under the contract. It is however not intended to excuse any negligence or malfeasance. It can also suspend the performance of an obligation or extend the time to perform the same.
Jadi yang dimaksud force majeure adalah kejadian tak terduga atau diluar kendali salah satu pihak yang menyebabkan mereka memiliki alasan menghindar dari tanggung jawab atau kewajiban mereka dalam kontrak. Ia dapat pula menyebabkan penundaan pelaksanaan kewajiban atau memberi perpanjangan waktu untuk prestasi serupa.

Untuk dapat dikatakan force majeure, suatu kejadian harus memenuhi tiga hal berikut ini :
1. Externality – the event / circumstance must be beyond the control of the contracting parties.
2. Unpredictability – the event / circumstance cannot be anticipated / foreseeable / expected.
3. Irresistibility – the event / circumstance is unavoidable.
Jadi kejadian itu harus:
1. Diluar kontrol dari pihak-pihak berkontrak,
2. Tidak dapat diduga dan diantisipasi,
3. Tidak dapat dihindari.

REZIM PENAFSIRAN DAN AKIBAT HUKUM JANJI PRA-KONTRAK

Indonesia:
Masalah penafsiran kontrak, di Indonesia diatur dalam Pasal 1342 s.d. Pasal 1351 KUHPer. Namun dalam pembahasan ini adalah palnig penting untuk dilihat mengenai Pasal 1343 KUHPer yang berbunyi: “Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyedlidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf”.

Belanda:
Mengenai penafsiran kontrak di Belanda, dapat dilihat keterangan berikut ini:
• The Dutch Civil Code does not contain a similar provision on interpretation. The criteria to be used in Dutch law can be found in the case law by the Hoge Raad (Dutch Supreme Court) .
• The interpretation of contractual clauses under Netherlands law is, according to the Netherlands Supreme Court [Netherlands Supreme Court March 13, 1981, NJ 1981, no. 635], not merely governed by the grammatical interpretation of the text of a contract .
Anglo Saxon:
Pada dasarnya, berlaku hukum Parol Evidence yang mengajarkan jika sudah terdapat klausula dalam kontrak, para pihak hanya terikat kata-kata dalam klausula tersebut, dengan mengesampingkan setiap maksud awal atau pembicaraan bahkan kesepakatan lisan yang telah dibuat sebelum kontrak ditandatangani .
Dalam sistem common law seperti yang berlaku di Amerika Serikat, dikanl juga cara penafsiran perjanjian oleh pengadilan untuk mengisi kekosongan hukum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Uniform Commercial Code menyebutkan tiga cara untuk melakukan interpretasi hukum :
1. Course of Performance, adalah bagaimana para pihak bertindak melaksanakan perjanjian. Tindakan para pihak dalam melaksanakan kontrak berlaku sebagai bukti tentang maksud para pihak.
2. Course of Dealing, adalah bagaimana para pihak melaksanakan kontrak yang sebelumnya. Hal ini akan menjadi acuan untuk menyelesaikan sengketa atas kontrak yang sekarang sedang berlaku…
3. Usage of Trade, adalah praktik bisnis yang sudah terjadi berulang-ulang menurut pola yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. Perbandingan Hukum Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Hijma, Jaap. “Force Majeure (‘Overmacht’) According to the Civil Code of the Netherlands”. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa. Jakarta: NLRP, 2010.
Hijma, Jaap. “Nullity and Annullability According to the Civil Code of the Netherlands”. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian. Jakarta: NLRP, 2010.
Soemadipradja, Rahmat S.S. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa. Jakarta: NLRP, 2010.
Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. Ke-21. Jakarta: Intermasa, 2005.
Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Ed. 1. Cet.6. Jakarta: Kencana, 2009.
SUMBER INTERNET DAN JURNAL

Kruisinga, Sonja A. “The Impact of Uniform Law on National Law: Limits and Possibilities – CISG and Its Incidence in Dutch Law”, http://www.ejcl.org/132/art132-2.doc , diunduh 13 November 2012.
Low, Juanita May. “United Kingdom: Force Majeure – The Clause, The Definition, The Application”,http://www.mondaq.com/x/159974/Contract+Law/Force+Majeure+The+Clause+ The+Definition+The+Application , diakses 13 November 2012.
O’Malley, Nathan D. “Key Differences Between U.S. and Netherlands Contract Law”, http://www.conway-partners.com/en/blog/international-contracting-/key-differences-between-us-and-netherlands-contract-law , diakses 13 Novermber 2012.
S.n., “Default”, http://www.lectlaw.com/def/d024.htm , diakses 13 November 2012.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.